Ketika Kecelakaan di Jalan Raya Menunggu Keputusan Strategis di Ujung Pena Pejabat
PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) sebagai alat negara untuk menegakkan hukum justru dibatasi secara operasional.

Oleh: Dr. Ilham, ST., MT
(Penelaah Teknis Kebijakan dan Peneliti Independen)
(OPINI ini mengurai persoalan dari hulu ke hilir, sambil menyerukan bahwa penyelamatan nyawa pengguna jalan hanya bisa dicapai jika keputusan strategis segera ditorehkan oleh pemegang kebijakan)
Majalah Intra, Jakarta – Tragedi di jalan raya yang terus berulang menjadi gambaran nyata dari ketidaktegasan negara dalam menertibkan angkutan umum yang tak laik jalan dan tidak berizin. Sejumlah kecelakaan yang melibatkan kendaraan besar seperti bus dan truk, menunjukkan lemahnya sistem perizinan, pengawasan, dan penegakan hukum.
Salah satu contoh menonjol adalah kecelakaan yang melibatkan bus ALS dan Kecelakaan Truk bermuatan limbah batubara yang memakan Korban Meninggal dunia dalam beberapa hari yang mencapai 23 Orang nyawa manusia hilang, belum lagi korban luka berat, dan luka ringan, ditambah kerugian materi yang diakibatkan oleh kecelakaan tersebut.
Tragedi ini menjadi simbol ketidakberdayaan negara dalam menyelesaikan akar masalah registrasi kendaraan untuk angkutan umum, perizinan, dokumen Blu-E kendaraan yang seharusnya dan pengelolaan angkutan jalan yang terintegrasi namun nyatanya belum semuanya terbuka dan sepertinya tertutup karena ego sektoral dari unit kerja pemerintah yang seharusnya saling berkolaborasi menuntaskan permasalahan.
Izin Operasi Bus yang Diabaikan
Banyak armada bus, termasuk dari perusahaan ALS, beroperasi tanpa izin atau dengan izin yang sudah tak berlaku. Pemilik kendaraan sering mengabaikan kewajiban administratif. Pemanggilan berkali-kali dari instansi berwenang tak digubris, dengan dalih klise seperti “masih proses”. Sayangnya, proses itu tak pernah rampung karena pemilik tak menunjukkan itikad baik. Ketidakseriusan ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan absennya sanksi tegas. Jika kendaraan yang tak berizin masih bisa beroperasi di jalan raya, maka publik bisa mempertanyakan: siapa yang sebenarnya berkuasa, hukum atau pelanggar?
Blu-E dan KPS Palsu yang Merajalela
Temuan Blu-E dan Kartu Pengawasan (KPS) palsu tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Dokumen ini seharusnya menjamin bahwa kendaraan layak jalan dan memiliki izin operasional. Namun, kini banyak yang hanya menjadi formalitas atau bahkan hasil pemalsuan. Lebih ironis lagi, aparat penegak hukum seperti kepolisian tidak menunjukkan tindakan tegas terhadap pemalsuan dokumen-dokumen ini. Ini membuat para pelanggar makin percaya diri mengabaikan aturan. Ketika Blu-E dan KPS tidak lagi dianggap penting, kita sedang bermain-main dengan keselamatan publik dan jaminan kendaraan yang di operasionalkan memenuhi ketentuan.
Uji Berkala Diabaikan Meski Gratis
Meskipun pemerintah telah menghapus biaya Blu-E sebagai insentif, kenyataannya tak banyak yang memanfaatkan program ini. Sebaliknya, banyak pemilik kendaraan memilih untuk menghindar dari uji berkala. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan bukan pada biaya, tetapi pada budaya kepatuhan hukum. Ketika kendaraan tidak diuji secara berkala, potensi kecelakaan meningkat karena kondisi teknis tidak terpantau. Pemerintah perlu meninjau ulang strategi insentif jika tidak disertai penegakan hukum yang kuat.
Perizinan yang Tertutup dan Elitis
Proses perizinan angkutan saat ini jauh dari transparansi. Banyak yang mengeluhkan bahwa hanya pihak tertentu yang bisa mengakses dan mengatur izin, terutama di lingkaran oknum ASN dan P3K. Praktek ini menutup peluang pelaku usaha yang ingin patuh dan legal, namun terhambat sistem birokrasi yang rumit dan penuh kepentingan. Tanpa transparansi, kepercayaan terhadap sistem hukum dan administrasi transportasi akan terus menurun.
Penguji Berkala yang Melenceng dari SOP
Uji kendaraan secara berkala idealnya dilakukan secara objektif dan profesional. Namun, masih ditemukan oknum penguji yang melanggar SOP. Dalam banyak kasus, kendaraan tidak laik jalan bisa “lolos” hanya karena adanya kolusi atau suap. Ini bukan hanya pelanggaran prosedur, tetapi juga pengkhianatan terhadap keselamatan publik. Pengawasan internal dan eksternal harus diperkuat, termasuk pemberian sanksi keras kepada penguji nakal.
TNKB dan Dokumen Kendaraan Manipulasi
Modus manipulasi kendaraan di jalan semakin canggih. Salah satunya adalah dengan mengganti TNKB dari kendaraan satu ke kendaraan lain agar tampak legal di mata petugas. Padahal, dokumen dan fisik kendaraan berbeda. Motif umumnya adalah untuk mengakses BBM subsidi atau menghindari penindakan. Petugas jalan yang seharusnya menindak justru kerap terlibat dalam praktik ini, menciptakan lingkaran setan pelanggaran hukum yang makin tak terbendung.
PPNS Dibatasi dan Dilemahkan
PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) sebagai alat negara untuk menegakkan hukum justru dibatasi secara operasional. Tugas mereka terkonsentrasi hanya di terminal dan UPPKB. Padahal, pelanggaran kerap terjadi di luar titik-titik itu. Selain itu, prosedur birokratis yang rumit membuat PPNS kesulitan bergerak cepat. Jika penegak hukum dibelenggu, siapa lagi yang bisa melindungi masyarakat dari angkutan umum yang membahayakan?
Tekanan pada Petugas yang Jujur
Petugas yang menjalankan tugas dengan jujur sering menjadi korban tekanan dari “bekingan” pemilik kendaraan. Saat mereka tegas, justru dianggap sebagai penghambat, bukan pelindung hukum. Sering kali mereka dilaporkan balik atau diintimidasi. Lingkungan kerja seperti ini sangat tidak sehat, dan hanya akan membuat petugas jujur kehilangan semangat. Negara harus hadir melindungi mereka yang menjaga aturan.
Tragedi Kecelakaan akibat Kendaraan Tak Laik
Kecelakaan yang terjadi sebagian besar melibatkan kendaraan yang tidak sesuai spesifikasi dimensi, kelebihan muatan, atau menggunakan dokumen palsu seperti Blu-E. Ini bukan kebetulan, tapi akibat dari akumulasi pelanggaran yang dibiarkan. Satu pelanggaran kecil yang tidak ditindak akan menjadi besar dan mematikan. Setiap kejadian seharusnya menjadi momentum evaluasi total, bukan sekadar dicatat dalam laporan.
Bertambahnya Keluarga Rentan dengan Kemiskinan
Kecelakaan yang terjadi di Padang Panjang dan Di Purworejo menambah deretan peristiwa kecelakaan yang berdampak pada bertambahnya keluarga yang rentan dengan kemiskinan, setelah kepala rumah tangga dan pengelola rumah tangga menjadi korban meninggal dan luka-luka yang mengakibatkan hilangnya seorang pencari nafkah dan pengurus keluarga bahkan generasi masa depan bangsa, Asuransi dan tali asih yang diberikan hanya sementara tetapi ke depan siapa yang bertanggungjawab dengan keluarga yang ditinggalkan, prinsip adalah negara yang bertanggungjawab, pertanyaannya apa ia ini dapat di penuhi oleh negara ?
Solusinya:
Saatnya Pena Pejabat Menjadi Pedang Hukum
Semua permasalahan ini hanya bisa diselesaikan jika pejabat membuat keputusan strategis yang berani dan tegas. Tidak cukup dengan instruksi, tetapi dibutuhkan tindakan nyata, transparan, dan konsisten. Keselamatan di jalan raya adalah tanggung jawab bersama, namun negara memiliki peran paling besar. Solusi lainnya ada dengan menerapkan konsep Integrated Public Transport Safety System (IPTSS) dan Transportasi Jalan Maju Secara Cerdas. Jangan biarkan tinta di ujung pena pejabat hanya menuliskan tragedi berikutnya. Saatnya pena menjadi pedang hukum yang melindungi rakyat.