Bus Oleng: Antara Euforia Digital dan Ancaman Nyawa di Jalan Raya
Ketika konten berbahaya diberi panggung, disukai, dibagikan, dan dijadikan referensi hiburan, maka norma keselamatan tergeser oleh norma digital: viralitas.

Oleh: Dr. Ilham, ST., MT
Penelaah Teknis Kebijakan dan Peneliti Independen
Majalah Intra, Jakarta – Di tengah derasnya arus konten digital yang menghiasi lini masa media sosial, sebuah fenomena menantang logika keselamatan lalu lintas perlahan menjelma menjadi tontonan yang dianggap menghibur: aksi “bus oleng”. Adegan ketika sopir bus sengaja menggoyang-goyangkan kendaraannya ke kiri dan ke kanan, kerap disambut teriakan kegirangan dari penumpang maupun penonton daring, tanpa disadari merupakan bentuk pembiaran terhadap pelanggaran serius yang dapat berujung pada bencana.
Fenomena “bus oleng” bukan hanya sekadar gaya mengemudi ugal-ugalan. Ia merupakan potret problematika sistemik yang mencakup rendahnya kesadaran keselamatan, lemahnya pengawasan terhadap pengemudi angkutan umum, hingga absennya regulasi digital dalam menindak konten membahayakan. Artikel ini mengupas akar persoalan, dampak, serta urgensi kolaborasi semua pihak dalam menyudahi praktik berbahaya ini.
Mengenal Fenomena “Bus Oleng”
Istilah “bus oleng” merujuk pada aksi disengaja dari pengemudi bus, biasanya kelas antar-kota, yang menggerakkan kendaraan secara ekstrem ke kiri dan ke kanan, sering kali disertai kecepatan tinggi. Penumpang, terutama kalangan muda, acap kali terlibat dalam kegiatan ini dengan merekam, menyebarluaskan, dan menyemangati aksi tersebut melalui teriakan maupun konten viral.
Asal mula budaya ini tidak lepas dari maraknya penggunaan media sosial seperti TikTok, Instagram, dan YouTube, di mana video “bus oleng” menjadi konten populer. Aksi ini bahkan kerap direncanakan, dengan komunitas penggemar yang mengikuti rute tertentu demi merekam momen oleng dari tepi jalan, layaknya penonton balapan liar.
Ironisnya, euforia digital yang menyertai aksi ini menutupi fakta paling mendasar: bahwa bus adalah moda transportasi umum, membawa nyawa manusia, dan tidak didesain untuk manuver ekstrem yang membahayakan keseimbangan serta keselamatan.
Dimensi Bahaya dari Perspektif Teknis dan Psikologis
Bus sebagai kendaraan besar memiliki titik gravitasi tinggi dan sistem manuver yang berbeda jauh dengan kendaraan kecil. Aksi oleng dapat menyebabkan:
- “Roll over atau terguling” akibat gaya sentrifugal saat membelok tajam.
- “Pecah ban” karena tekanan beban tak seimbang.
- “Kehilangan kendali” saat sopir gagal mengoreksi arah kendaraan.
Lebih jauh, dari sisi psikologis, aksi semacam ini bisa menimbulkan efek traumatik bagi penumpang yang tidak siap secara mental. Dalam sejumlah kasus, anak-anak dan lansia menjadi korban kepanikan. Beberapa di antaranya bahkan mengalami luka akibat terjatuh di dalam kabin ketika bus bermanuver ekstrem.
Kecelakaan Nyata Akibat Gaya Berkendara Berbahaya
Tidak sedikit insiden kecelakaan yang ditelusuri berakar dari gaya mengemudi ugal-ugalan, termasuk oleng. Data Korlantas Polri menunjukkan bahwa lebih dari 20% kecelakaan angkutan umum terjadi karena kelalaian pengemudi. Di antaranya adalah kasus:
- Bus terguling di ruas tol Trans Jawa, 2023, setelah sopir mengaku “bermain oleng” untuk hiburan penumpang.
- Insiden bus pariwisata di kawasan Puncak, 2024, yang menewaskan 5 orang setelah kendaraan kehilangan kendali saat bermanuver tajam.
- Kecelakaan Bus Pariwisata di Kota Batu, Jawa Timur 8 Januari 2025, 4 orang meninggal dunia, termasuk seorang ibu dan anaknya berusia 20 bulan, serta dua warga lokal.
- Kecelakaan Bus Study Tour SDN 1 Harisan Jaya, OKU Timur (24 Mei 2024), 2 orang meninggal dunia, puluhan luka-luka.
Sebagian besar kasus tersebut melibatkan bus dengan jumlah penumpang melebihi kapasitas, serta absennya pengawasan langsung dari manajemen PO (perusahaan otobus).
Budaya Viral: Ketika Keselamatan Dikalahkan oleh Tontonan
Budaya “bus oleng” tidak akan eksis tanpa dukungan tidak langsung dari masyarakat. Ketika konten berbahaya diberi panggung, disukai, dibagikan, dan dijadikan referensi hiburan, maka norma keselamatan tergeser oleh norma digital: viralitas.
Inilah yang disebut oleh para sosiolog sebagai efek konten pembenar, yaitu pembentukan persepsi bahwa sesuatu menjadi wajar karena sering ditampilkan. Dalam hal ini, “oleng” bukan lagi dianggap kesalahan, tetapi gaya khas yang ditoleransi bahkan dikagumi.
Akibatnya, sopir muda berlomba-lomba membentuk citra “pemberani dan keren” demi mengejar pengakuan di dunia maya, sementara risiko kecelakaan hanya dianggap sebagai kemungkinan kecil yang tak perlu dikhawatirkan.
Tanggung Jawab Siapa?
Fenomena bus oleng tidak bisa hanya disalahkan kepada sopir. Ia adalah akibat dari:
- Kurangnya pelatihan keselamatan berkala bagi pengemudi.
- Manajemen PO yang lebih fokus pada kecepatan dan efisiensi, bukan keselamatan.
- Penegakan hukum yang lemah dan tidak konsisten.
- Ketidakhadiran edukasi lalu lintas dalam kurikulum sekolah secara berkelanjutan.
Lebih lanjut, platform digital juga memiliki tanggung jawab moral untuk menyaring konten berbahaya. Sejauh ini, tidak ada regulasi tegas yang mengatur penghapusan konten “bus oleng” dari platform populer, dan belum ada sanksi tegas terhadap pengunggah yang mempromosikan gaya mengemudi berbahaya.
Peran Negara, Regulator, dan Masyarakat
Dalam menanggulangi fenomena “bus oleng”, dibutuhkan sinergi dari semua pihak:
- Pemerintah dan Regulator
- Mengintensifkan kampanye keselamatan jalan melalui media sosial, TV, dan edukasi langsung di terminal dan sekolah, dan masyarakat dengan melibatkan pemerintah sampai di tingkat Desa/Keluarahan.
- Memberlakukan “aturan ketat terhadap PO dan sopir” yang melanggar prinsip keselamatan. Bukan hanya pada peringatan dan pencabutan izin namun juga (secara Administratif) namun dapat juga ke ranah pidana.
- Bukan hanya mewajibkan pemasangan “GPS dan dashcam” setiap kendaraan pariwisata sebagai alat pemantau perilaku pengemudi secara real time, tetapi melakukan pemantauan setiap waktu dari hasil GPS dan dashcam yang telah dipasang.
- Mewajibkan kepada Perusahaan OTO bus Pariwisata dengan menggunakan Driver Monitoring System (DMS)
- Platform Media Sosial
- Menyaring dan menghapus konten berbahaya dengan cepat.
- Menampilkan peringatan keselamatan atau label edukatif pada video transportasi umum ekstrem.
- Menyediakan kanal pelaporan publik yang cepat dan responsif.
- Pendidikan dan Kesadaran Publik
- Memasukkan materi keselamatan berkendara dalam pelajaran sekolah bukan lagi wacana tetapi kewajiban.
- Memberdayakan komunitas pengguna jalan untuk melaporkan pelanggaran ke instansi terkait.
- “Menghentikan glorifikasi konten viral yang membahayakan”, dan menggantinya dengan apresiasi terhadap sopir teladan.
Refleksi: Ketika Bus Menjadi Alat Perjuangan, Bukan Tontonan
Bus dalam sejarah Indonesia bukan sekadar alat angkut. Ia pernah menjadi simbol perjuangan rakyat kecil, mengantar anak sekolah, pedagang, hingga pekerja dari kampung ke kota. Namun hari ini, sebagian bus justru dijadikan panggung bagi tontonan berisiko.
Sudah waktunya kita mengembalikan makna bus sebagai ruang publik yang aman, terhormat, dan mendidik. Tidak ada kemajuan tanpa keselamatan. Tidak ada transportasi berkelas tanpa etika.
Penutup: Ayo Lawan “Bus Oleng” dengan Edukasi dan Kepedulian
“Bus oleng” bukan keberanian. Ia adalah bentuk kelalaian. Ketika seorang sopir mengabaikan nyawa puluhan penumpang demi beberapa menit ketenaran, saat itulah sistem kita sedang gagal. Tapi kita tidak boleh diam.
Mulailah dari diri sendiri: jangan mendukung, jangan membagikan, dan jangan diam ketika melihat pelanggaran. Sampaikan, laporkan, dan edukasikan.
Karena keselamatan di jalan bukan hanya urusan pengemudi dan polisi dan perhubungan. Ia adalah tanggung jawab bersama.
Ayo jaga jalan raya kita.
“Keselamatan adalah hak setiap warga. Dan kita wajib memperjuangkannya”