Analisis

Tumbuh Suburnya Angkutan Umum Tanpa Izin dan Kelaikan: Layanan Prima, Regulasi Terlupa

Penegakan hukum terhadap pelanggaran izin dan kelaikan kendaraan hingga kini dinilai belum efektif.

Oleh: Dr. Ilham, ST., MT.
Penelaah Teknis Kebijakan dan Peneliti Independen

Majalah Intra, Surakarta – Fenomena menjamurnya angkutan umum orang seperti Hiace, Elf, dan kendaraan sejenis semakin menjadi sorotan publik. Meskipun layanan dan servis yang diberikan oleh operator angkutan ini terbilang prima, dengan armada baru, pelayanan cepat, dan harga bersaing, ironisnya sebagian besar dari mereka beroperasi tanpa izin resmi dan tidak memiliki sertifikat kelaikan kendaraan (KIUR).

Dari berbagai wilayah di Indonesia, termasuk wilayah-wilayah dengan jalur wisata dan ekonomi tinggi, muncul model transportasi “alternatif” ini yang digemari masyarakat karena kepraktisannya. Namun di balik efisiensi layanan itu, tersembunyi persoalan pelik terkait kepatuhan hukum dan administrasi.

Mampu Membeli, Tak Mampu Mengurus Izin

Beberapa pengusaha kecil dan menengah mengakui mampu menyediakan kendaraan-kendaraan mahal seperti Toyota Hiace atau Isuzu Elf yang dimodifikasi dengan fasilitas mewah. Namun ironisnya, banyak dari mereka yang tidak atau belum mengurus izin angkutan umum, baik berupa izin trayek maupun izin operasional.

“Kami fokus ke pelayanan dulu. Soal izin, nanti belakangan,” ujar seorang pengelola jasa travel di wilayah Jawa Tengah yang enggan disebutkan namanya. “Kalau urus izin, banyak syaratnya dan biayanya juga tidak sedikit.”

Padahal, tanpa izin resmi, kendaraan angkutan umum tidak hanya melanggar aturan perundangan, namun juga berisiko tinggi terhadap keselamatan penumpang.

Tanpa Uji KIR

Ketiadaan izin biasanya dibarengi pula dengan tidak dilakukannya Uji KIR maupun Hasil Pengujian Kendaraan Bermotor (Blue_e). Artinya, kendaraan-kendaraan tersebut tidak tercatat secara administratif, dan tidak ada jaminan bahwa kendaraan itu layak jalan dari sisi teknis maupun keselamatan.

Menurut data, lebih dari 40% kendaraan angkutan umum non-trayek yang beroperasi tidak memiliki dokumen hasil uji KIR yang sah. Tidak adanya dokumen ini membuat kendaraan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum jika terjadi kecelakaan. Pada hal untuk melakukan uji KIR di setiap Unit Pengujian Kendaraan Bermotor itu tidak dipungut biaya lagi sesuai ketentuan yang ada saat ini. Herannya masyarakat pemilik angkutan umum saat ini merasa Uji KIR berat, pada hal tidak, jika kendaraan tersebut secara teknis, memenuhi persyaratan teknis dan menuhi ketentuan yang di atur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan, dapat pastikan tidak berat dan tidak susah, dan petugas uji KIR tidak akan berani melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan aturan, karena pengujian itu setiap waktu di lakukan pengawasan oleh Direktorat Sarana Transportasi Jalan melalui sistem yang terintegrasi dengan Unit Pengujian Kendaraan Bermotor yang Terakreditasi di Seluruh Indonesia.

See also  Pastikan Kelancaran Transportasi, Menhub Dudy Purwagandhi Lakukan Kolaborasi Lintas Sektor

“Jka di temukan yang tidak sesuai Peraturan dan SOP langsung di tindak dengan melakukan pemanggilan kepada Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten/Kota, Kepala UPKB dan Penguji Itu sendiri, jika ditemu kenali pelanggaran pasti mendapatkan hukuman, bahkan bagi Petugas Penguji Itu sendiri sampai dengan Pemecatan,” ujar salah seorang staf di Direktorat Sarana Transportasi Jalan.

Koordinasi Sistem yang Buruk

Salah satu penyebab menjamurnya angkutan liar ini adalah buruknya koordinasi antar sistem dan instansi, mulai dari registrasi kendaraan, perpajakan, hingga perizinan angkutan. Tidak adanya integrasi sistem menyebabkan satu kendaraan bisa saja teregistrasi sebagai kendaraan pribadi, namun beroperasi secara ilegal sebagai kendaraan umum.

“Sudah berkali-kali kami rapatkan dan mengusulkan sistem integrasi data baik samsat, perpajakan, dan perizinan dari tingkat pusat dan daerah. Tapi sampai sekarang belum ada realisasi. Alasannya klasik: pembiayaan terbatas,” ungkap seorang yang tidak ingin disebutkan namanya di salah satu tempat saat ia bertugas pada masa Angkutan Lebaran 2025 di Jawa Tengah.

Sikap Apatis di Berbagai Lapisan

Lebih jauh, fenomena ini juga diperparah oleh sikap apatis, baik dari pihak pengusaha angkutan, maupun dari pemerintah sendiri. Para pengusaha tidak merasa perlu memenuhi kewajiban hukum karena lemahnya pengawasan. Di sisi lain, aparat dan instansi yang bertugas sering saling lempar tanggung jawab.

“Saya sudah lapor ke petugas yang berwenang seperti Polisi, katanya itu wewenang Perhubungan, sementara Perhubungan bilang itu harus ada Polisi, disis lainnya Perhubungan mengatakan itu tugas dan urusannya di Perizinan di Daerah,  Sedangkan Oknum Perizinan di Daerah menyampaikan itu tugas Polisi dan Perhubungan. Saling lempar saja ujung-ujungnya,” ujar seorang warga di Klaten.

Lebih miris lagi, hampir disemua daerah ditemukan oknum-oknum aparat yang justru menjadi pelindung (beking) bagi angkutan ilegal ini. Perlindungan tersebut menciptakan ekosistem yang kebal hukum dan membuat kendaraan-kendaraan tersebut tetap eksis di jalan raya.

Penegakan Hukum Lemah dan Terbatas

Penegakan hukum terhadap pelanggaran izin dan kelaikan kendaraan hingga kini dinilai belum efektif. Hal ini karena aturan yang mengatur penindakan di jalan raya hanya bisa dilakukan oleh Kepolisian. Sementara Perhubungan dan instansi lain hanya bisa mendampingi.

“Kalau ingin operasi, harus ada Polisi. Kalau tidak, tidak bisa menindak. Masalahnya, koordinasi ini ribet dan butuh biaya lagi,” jelas salah satu Petugas di Terminal yang juga sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di wilayah Jawa Tengah, ia mengungkapkan miris melihat pelanggaran yang terus terjadi tetapi tidak dapat berbuat apa-apa karena ia selalu PPNS hanya dapat melakukan tindakan tegas di Terminal, sedangkan pelanggaran tersebut banyak dijalan langsung.

See also  Keselamatan Transportasi Berbasis Jalan Jelang Natal 2024 dan Tahun Baru 2025

Ketergantungan pada satu institusi penegak hukum membuat pelaksanaan penindakan menjadi lamban dan tidak konsisten. Akibatnya, masyarakat tetap memilih angkutan yang ilegal namun cepat dan nyaman, dibanding angkutan resmi yang terkesan kaku dan berbelit-belit.

Wewenang Tumpang Tindih, Sistem Terkotak

Permasalahan makin pelik ketika wewenang antar instansi tidak jelas. Ada instansi yang menangani aspek teknis, ada yang menangani aspek hukum, ada pula yang hanya bertugas mencatat. Tidak ada satu sistem yang mengatur secara menyeluruh dan terintegrasi. Mengapa tidak terintegrasi saja datanya, jika terintegrasi maka semua institusi dapat melakukan tugasnya dan akan diketahui instansi mana yang selalu menghambat, dan membuat proses memakan waktu lama.

Hal ini membuat masing-masing instansi merasa tidak bertanggung jawab penuh atas masalah angkutan ilegal. Bahkan, ada yang merasa “bukan tugas saya” ketika diminta bertindak atas temuan kendaraan umum tanpa izin.

Kerugian Negara dan Daerah

Munculnya angkutan-angkutan ilegal ini berdampak langsung pada hilangnya potensi pendapatan negara dan daerah, baik dari segi retribusi, pajak, maupun sumbangan wajib dari badan usaha.

“Kalau satu kendaraan bisa setor minimal Rp 2 juta setahun ke kas daerah, bayangkan jika ada 10.000 kendaraan ilegal yang tak setor,” ujar seorang petugas di salah satu Badan yang tugasnya sehari hari menerima pendapatan di daerah di Jawa Tengah. “Itu sama dengan kehilangan Rp 20 miliar per tahun hanya dari satu jenis kendaraan.”. Begitu pula salah seorang yang bertugas sehari-hari melakukan analisis secara teknis di salah satu Kementerian Di Jakarta, ia mengungkapkan, jika ijin atau Kartu Pengawasan Angkutan Orang Umum (AKAP) maupun Angkutan Pariwisata setiap unit kurang lebih Rp. 250.000 jika dikalikan dalam sebulan saja mengurus 1000 unit/bulan untuk Kartu Pengawasan berarti Rp. 125.000.000/bulan, menurutnya kurang lebih 8000 Kendaraan Bus Pariwisata yang terdaftar ditahun 2024, belum lagi Bus AKAP, dan angkutan lainnya, dalam setahun saja negara dapat puluhan miliar, ingat itu untuk yang berizin, bagaimana bila ditambahkan kendaraan yang tidak berizin mengurus izin dan kartu pengawasannya tentunya lebih tinggi lagi.

Asuransi dan Keselamatan yang Terabaikan

Poin paling krusial dari semua ini adalah jaminan keselamatan penumpang yang terabaikan. Kendaraan yang tidak memiliki izin dan kelaikan tidak dilindungi asuransi. Jika terjadi kecelakaan, maka tidak ada perlindungan hukum bagi penumpang.

See also  Pertama di Indonesia, Smart Aviation Bakal Operasikan Pesawat Cessna SkyCourier

“Banyak yang tidak tahu bahwa naik kendaraan yang dapat dikategorikan ilegal karena tidak berizin itu risikonya tinggi. Jika kecelakaan, tidak ada asuransi. Tidak ada tanggung jawab hukum,” ujar salah seorang Pengamat Transportasi di Jakarta.

Refleksi Akhir: Kebutuhan Akan Reorientasi Peran dan Tanggung Jawab

Sudah saatnya seluruh pemangku kepentingan merefleksikan peran dan tanggung jawabnya dalam sistem transportasi nasional. Kita tidak bisa terus-menerus membiarkan ruang abu-abu dalam tata kelola angkutan umum tumbuh subur tanpa penertiban yang jelas. Bila hal ini terus dibiarkan, maka kita bukan hanya bicara soal kerugian ekonomi, tapi juga pelanggaran hak-hak dasar masyarakat: hak atas keselamatan, hak atas perlindungan hukum, dan hak atas pelayanan publik yang adil dan transparan.

Ke depan, pemerintah pusat harus berani melakukan audit menyeluruh terhadap sistem Registrasi, Perpajakan kendaraan, Dan Penerbitan Perizinan angkutan umum. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan pun dapat dilibatkan untuk menelisik jika ada unsur penyimpangan di balik pembiaran ini. Demikian juga Ombudsman Republik Indonesia dapat mengambil peran dalam menilai pelayanan publik sektor transportasi yang tidak optimal.

Menemukan Jalan Tengah: Pendekatan Humanis dan Tegas

Solusi tidak melulu dengan cara represif. Pendekatan humanis dengan edukasi, sosialisasi, dan penyediaan insentif juga penting untuk menumbuhkan kesadaran dari para pengusaha dan pemilik kendaraan. Namun di saat yang sama, pemerintah tetap harus bertindak tegas terhadap pelanggaran yang nyata.

Perlu juga digagas satu command center pengawasan angkutan umum yang berbasis data real time dan lintas sektor, yang dapat diakses oleh semua lembaga terkait. Hal ini akan memotong jalur birokrasi yang panjang dan melelahkan.

Menumbuhkan Kepedulian: Dari Kita Semua untuk Indonesia

Terakhir, perubahan tidak akan terjadi jika hanya bergantung pada pemerintah. Perubahan juga butuh tekanan dan dukungan dari masyarakat. Media massa, aktivis transportasi, hingga pengguna layanan harus menjadi bagian dari ekosistem kontrol publik terhadap layanan angkutan umum yang tidak hanya nyaman, tapi juga aman dan sah secara hukum.

Jangan sampai kita, sebagai bangsa, menjadi permisif terhadap pelanggaran yang kasat mata. Jangan sampai kenyamanan jangka pendek mengorbankan keselamatan jangka panjang. Dan jangan sampai negara terus hadir hanya sebagai penonton dalam drama panjang ketidaktaatan hukum ini.

Karena pada akhirnya, pertanyaan terbesar yang perlu kita jawab bersama adalah: Jika kendaraan itu tak laik jalan, tak memiliki izin, dan tak tercatat dalam sistem hukum, lalu siapa yang akan bertanggung jawab jika nyawa melayang di jalan?.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button