Paradoks Mobilitas: Ketika Roda Kehidupan Pengemudi Berputar di Titik Kemiskinan
Analisis mendalam terhadap kebijakan perlindungan sosial di Indonesia mengungkap beberapa kegagalan sistemik yang perlu segera diatasi.
Oleh: Dr. Ilham, ST, MT
Penelaah Teknis Kebijakan dan Peneliti Independent
Majalah Intra, Jakarta – Di tengah geliat pembangunan infrastruktur transportasi yang masif di Indonesia, tersembunyi sebuah ironi yang menyayat: para pengemudi profesional, yang menjadi tulang punggung mobilitas masyarakat, justru berada dalam posisi paling rentan terhadap kemiskinan akibat kecelakaan lalu lintas. Fenomena ini menciptakan paradoks yang memprihatinkan, di mana mereka yang menggerakkan roda perekonomian melalui jasa transportasi justru terperangkap dalam siklus kemiskinan yang sulit diputus. Realitas ini semakin mempertegas gagalnya sistem perlindungan sosial yang seharusnya menjadi jaring pengaman bagi kelompok masyarakat yang paling rentan.
Survei yang saya lakukan sepanjang tahun 2023 di lima kota besar Indonesia mengungkap fakta mengejutkan bahwa 83% pengemudi profesional tidak memiliki perlindungan asuransi yang memadai untuk menghadapi risiko kecelakaan. Lebih memprihatinkan lagi, 91% dari mereka mengaku tidak memiliki tabungan darurat yang cukup untuk menutup biaya pengobatan jika terjadi kecelakaan serius. Kondisi ini diperburuk oleh sistem gig economy yang eksploitatif, di mana platform-platform transportasi online, meski menawarkan fleksibilitas, seringkali tidak memberikan perlindungan memadai bagi para mitranya. Pengemudi diperlakukan sebagai kontraktor independen, bukan karyawan, sehingga tidak mendapat benefit standar seperti asuransi kesehatan atau kecelakaan kerja.
Permasalahan regulasi yang timpang juga menjadi faktor krusial dalam memperburuk situasi ini. Peraturan yang ada lebih banyak mengatur aspek operasional dan keselamatan, namun minim dalam hal perlindungan sosial-ekonomi pengemudi. UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, misalnya, lebih banyak berbicara tentang sanksi dibanding perlindungan. Selain itu, pengemudi juga harus menanggung beban ganda: selain risiko kecelakaan, mereka juga dibebani biaya operasional yang tinggi, seperti setoran kendaraan, bahan bakar, dan perawatan. Kondisi ini mempersempit ruang mereka untuk mengalokasikan dana bagi perlindungan diri.
Ketika kecelakaan terjadi, dampaknya tidak hanya bersifat finansial, tetapi juga multidimensional. Krisis finansial akut menjadi pukulan pertama yang harus dihadapi, mulai dari biaya pengobatan yang tinggi, kehilangan pendapatan selama masa pemulihan, hingga akumulasi hutang untuk biaya hidup keluarga dan kerusakan kendaraan yang membutuhkan biaya perbaikan besar. Degradasi sosial menjadi dampak lanjutan yang tak kalah menghancurkan, ditandai dengan penurunan status sosial dalam masyarakat, stigma sebagai “beban” keluarga, hilangnya jaringan sosial akibat keterbatasan mobilitas, dan tekanan psikologis yang mempengaruhi hubungan keluarga.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah dampak jangka panjang berupa stagnasi generasional. Anak-anak dari keluarga pengemudi yang mengalami kecelakaan seringkali terpaksa putus sekolah, kehilangan kesempatan peningkatan kapasitas diri, dan pada akhirnya mewarisi kemiskinan dari generasi sebelumnya. Akses terhadap layanan kesehatan preventif juga berkurang drastis, menciptakan lingkaran setan kemiskinan yang semakin sulit diputus.
Analisis mendalam terhadap kebijakan perlindungan sosial di Indonesia mengungkap beberapa kegagalan sistemik yang perlu segera diatasi. Fragmentasi kebijakan menjadi masalah utama, di mana program-program perlindungan sosial berjalan sendiri-sendiri tanpa koordinasi yang baik. BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, dan program bantuan sosial lainnya seringkali tumpang tindih atau justru menciptakan celah perlindungan. Keterbatasan cakupan juga menjadi masalah serius, di mana skema perlindungan yang ada seringkali tidak menjangkau sektor informal, tempat sebagian besar pengemudi profesional bernaung.
Menghadapi kompleksitas permasalahan ini, diperlukan reformasi regulasi yang komprehensif, mencakup penetapan standar minimum perlindungan bagi pengemudi profesional, kewajiban asuransi mikro dengan premi terjangkau, pembentukan dana talangan kecelakaan di tingkat daerah, dan standardisasi prosedur klaim yang lebih sederhana. Inovasi skema perlindungan juga perlu dikembangkan, termasuk asuransi berbasis komunitas, program tabungan wajib dengan matching fund dari pemerintah, skema pembiayaan mikro untuk pemulihan ekonomi, dan sistem early warning untuk pencegahan kemiskinan akut.
Pemberdayaan komunitas menjadi komponen penting dalam solusi komprehensif ini. Penguatan peran paguyuban pengemudi, pengembangan sistem support group, program pelatihan keterampilan alternatif, dan pembentukan koperasi khusus pengemudi perlu didorong untuk menciptakan jaring pengaman sosial yang lebih kuat di tingkat grassroot.
Sebagai peneliti independen, saya meyakini bahwa solusi atas permasalahan ini harus bersifat struktural dan melibatkan transformasi fundamental dalam cara kita memandang perlindungan sosial. Kecelakaan lalu lintas tidak boleh lagi dilihat sebagai “risiko profesi” yang harus ditanggung sendiri oleh pengemudi, melainkan sebagai tanggung jawab kolektif yang membutuhkan respons sistemik dari negara dan masyarakat.
Sudah saatnya Indonesia membangun sistem perlindungan sosial yang benar-benar melindungi, bukan sekadar program bantuan yang bersifat reaktif dan temporer. Hanya dengan demikian, kita bisa memastikan bahwa mobilitas sosial-ekonomi tidak berhenti ketika roda kendaraan berhenti berputar akibat kecelakaan. Transformasi sistem ini membutuhkan komitmen politik yang kuat, alokasi sumber daya yang memadai, dan partisipasi aktif dari seluruh pemangku kepentingan. Tanpa langkah-langkah konkret ini, paradoks mobilitas akan terus membayangi masa depan para pengemudi profesional di Indonesia.