Dokumen Palsu di Jalan Raya: Ketika Keselamatan Dikorbankan, Hukum Dikebiri dan Akal Sehat Ditinggalkan
Sebagian besar aparat di lapangan masih berpikir bahwa dokumen teknis seperti Blu-E dan KPS hanyalah pelengkap.

Oleh : Dr. Ilham, ST., MT
(Penelaah Teknis Kebijakan dan Peneliti Independen)
Majalah Intra, Jakarta – Pemalsuan Blu-E dan KPS menjadi gejala akut di balik carut-marut sistem pengawasan kendaraan di Indonesia. Di tengah impunitas, mentalitas abai, dan tumpulnya penegakan hukum, siapa yang masih peduli keselamatan jalan?
Di sepanjang jalan raya Indonesia, fakta miris mengintai di balik deru kendaraan: dokumen kelaikan dan pengawasan kendaraan yang seharusnya menjadi jaminan keselamatan, kini justru jadi ladang pemalsuan. Kartu hasil uji Blu-E dan Kartu Pengawasan (KPS) dipalsukan dengan begitu mudah, seperti mencetak brosur. Sistem pengawasan yang lemah, aparat yang permisif, dan budaya masyarakat yang abai menjadi penyubur praktik ilegal ini.
Dalam beberapa kasus kecelakaan lalu lintas, ditemukan kendaraan yang ternyata tidak pernah diuji kelayakan meski memiliki dokumen “lengkap”. Fakta ini menegaskan satu hal: keselamatan jalan telah dikorbankan demi keuntungan jangka pendek dan sistem hukum yang setengah hati.
Gratis Tapi Tidak Mengikat: Ironi Uji Kelaikan Tanpa Biaya
Sejak diberlakukannya kebijakan bahwa uji kelaikan teknis kendaraan tidak lagi dipungut biaya (nol rupiah), pemerintah berharap tingkat kepatuhan meningkat. Tapi realitas berkata lain. Tanpa biaya, pemilik kendaraan tetap mencari jalan pintas: membeli dokumen tanpa menguji kendaraan secara fisik.
“Yang penting ada stempel, kendaraan bisa jalan,” begitu ungkapan yang kerap terdengar di lapangan. Dengan praktik seperti ini, potensi rem blong, ban aus, atau lampu mati bukan lagi kekhawatiran, karena pengawasan teknis sudah dimanipulasi sejak awal.
Ketidaktahuan Kolektif: Dokumen Teknis Dianggap Tidak Penting
Sebagian besar aparat di lapangan masih berpikir bahwa dokumen teknis seperti Blu-E dan KPS hanyalah pelengkap. Fokus mereka hanya pada STNK, SIM, dan pajak kendaraan. Padahal, dari segi keselamatan, dokumen teknis memiliki bobot yang jauh lebih besar karena berkaitan langsung dengan kelayakan kendaraan di jalan.
Salah satu bukti nyata dari adanya perbuatan melanggar hukum yaitu dugaan pemalsuan hasil uji kelaikan kendaraan Blu-E kendaraan. Peristiwa sebuah truk yang menyebabkan meninggalnya 11 orang yang meninggal dunia di Purworejo. “Link Website saja sudah tidak sesuai dengan link resmi apa lagi dokumen lebih-lebih lagi hasil yang dikeluarkan saya yakin itu semua tidak dapat dipertanggungjawabkan ujar salah seorang penguji kendaraan yang saya temui di kementerian perhubungan”.
Link Website yang gunakan untuk memalsukan dokumen hasil uji kendaraan https://ujiberkala-dephub.net/id-qr-rfid-220424997046/. Saat dilakukan pelacakan menggunakan media informasi yang dapat diakses masyarakat luas ‘MitraDarat” tidak ada data kendaraan tersebut. Dengan demikian hal seperti ini pihak kepolisian juga akan mudah melakukan penelusuran dan tindakan tegas kepada pemilik kendaraan dengan sangkaan pada pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen yang yang merugikan negara dan masyarakat, yang dapat dilakukan secara paralel dengan proses pasal yang disangkakan yang mengakibatkan kecelakaan dan menimbulkan korban jiwa (pasal 310 ayat 1 dan 2, pasal 311, pasal 315, dan pasal 316 ayat 2, UU LLAJ/2009

Budaya Abai: Ketika Pemilik dan Pengemudi Tidak Peduli
Pemilik kendaraan dan sopir, khususnya di sektor angkutan barang dan orang, masih banyak yang menganggap kelayakan kendaraan sebagai hal sekunder. Bagi mereka, yang penting kendaraan bisa beroperasi tanpa hambatan administratif.
ini menimbulkan bahaya nyata. Truk yang kelebihan muatan, bus dengan sistem pengereman yang rusak, atau kendaraan dengan ban gundul adalah potensi maut di jalan. Tapi selama “dokumen lengkap”, semua bisa dimaafkan.
Aparat Jalanan: Mengutamakan Formalitas, Mengabaikan Substansi
Salah satu ironi besar dalam penegakan hukum lalu lintas adalah fokus aparat terhadap hal-hal formalistik. Pemeriksaan rutin di jalan masih terbatas pada SIM, STNK, dan pajak. Pemeriksaan kelayakan teknis? Hampir tidak pernah.
Kondisi ini diperparah oleh minimnya pelatihan bagi aparat tentang teknis kendaraan. Banyak yang tidak paham perbedaan sistem rem ABS dengan non-ABS, atau bagaimana membaca hasil uji emisi. Maka tidak heran jika Blu-E palsu pun bisa lolos dengan mudah.
PPNS LLAJ: Penegak Hukum yang Tak Bisa Menegakkan
PPNS LLAJ adalah ujung tombak penegakan hukum teknis di sektor transportasi darat. Namun peran mereka dibatasi secara sempit. Mereka hanya berwenang di UPPKB dan terminal. Ketika pelanggaran terjadi di jalan raya — lokasi utama operasional kendaraan — mereka tidak bisa berbuat banyak.
Lebih tragis lagi, sebagian besar PPNS tidak dilibatkan dalam operasi gabungan atau razia terpadu, padahal mereka punya kompetensi teknis dan kewenangan hukum. Ini menunjukkan kebijakan publik yang belum sinkron antara regulasi dan praktik lapangan.
Paradigma Terbalik dan Salah Kaprah Kelembagaan
Seharusnya, PPNS dan penguji kendaraan dalam pemeriksaan di jalan. Namun yang terjadi justru sebaliknya. PPNS dijadikan figuran, dan petugas non-teknis menjadi pemeriksa utama. Pola seperti ini membuka peluang besar untuk manipulasi dan pengabaian aspek teknis. Sementara pihak kepolisian dapat melakukan pemeriksaan Dokumen Kelaikan dan Pemenuhan Persyaratan Kendaraan, sementara polisi bukan unsur teknis, bagaimana dapat mengatakan laik dan tidak serta terpenuhi persyaratan teknis kendaraan.
Suap dan Bekingan: Fondasi dari Budaya Impunitas
Tak bisa dipungkiri, pemalsuan dokumen dan pelanggaran teknis kendaraan hidup subur dalam lingkungan yang ditopang oleh praktik suap dan perlindungan oknum. “Ada oknum petugas Kepolisian, Dan Pejabat Publik Lainnya yang melindungi kendaraan pengusaha besar. Meski tidak layak jalan, tetap lolos tiap kali pemeriksaan,”, ditambah lagi petugas juga ditekan oleh pimpinan dalam bagian dari struktur pimpinan dan staf adalah bawahan yang dimana secara struktur meminta untuk tidak dilanjutkan dengan berbagai alasan.
Antara Nyawa, Hukum, dan Ketiadaan Tekad
Apa yang bisa diharapkan dari sistem yang meminggirkan profesional teknis, membatasi kewenangan hukum, dan membiarkan budaya abai merajalela? Kecelakaan akan terus terjadi, korban akan terus bertambah, dan dokumen palsu akan terus beredar — selama akar masalahnya tidak disentuh. Harapan kedepan dapat diwujudkan dengan pemilik kendaraan: menanamkan pada hari dan pikiran bahwa keselamatan adalah tanggung jawab utama, bukan beban biaya. Kepada penegak hukum, pahami dokumen teknis, bukan sekadar formalitas. Kepada pemerintah, perkuat peran PPNS LLAJ.
Keselamatan jalan hanya bisa diwujudkan jika kita berani menolak kompromi terhadap hukum dan mengutamakan akal sehat serta integritas. Karena jalan raya adalah ruang publik yang tak boleh dikorbankan oleh kepentingan pribadi.